Jumat, 06 Agustus 2010

Sebuah Catatan Omong Kosong :

6 Agustus 2010
Karina. Mantan perempunku yang selalu baik.
Aku ingin memberitahukan sesuatu kepadamu. Komputerku yang tidak canggih kini sudah benar. Dan bisa aku oprasikan dengan baik. Setidaknya untuk mendengarkan musik dan menulis sesuatu. Mungkin satu hari nanti aku akan menukarnya dengan computer jinjing yang jauh lebih canggih dan bisa aku bawa kemana-mana. Tapi berhubung banyak kebutuhan yang harus aku beli lebih dulu karena sangat penting. Jadi sementara aku memanfaatkan komputer ini saja dulu.
Begini karina yang baik. Mungkin akan seru juga bila mulai hari ini aku akan menulis surat untukmu disetiapa harinya. Atau paling tidak saat aku sedang gelisah atau rindu dengan kebersamaan kita dahulu. Tapi aku ingin menuliskan kegiatan sehari-hari yang aku alami saja saja karina. Bukan tentang masa lalu. Lagi pula tak ada yang sedih tentang masalalu kita bukan? Semua berjalan sangat normal dan penuh kebahagiaan. Jadi ini bisa dikatakan catatan harian. Begitulah bentuknya. Seluruh catatan ini aku peruntuhkan untukmu. Walaupun kau tak pernah tahu aku menulisnya. Walaupun kau tak pernah ingin membacanya. Tak mengapa kar. Ini hanya ungkapan kegelisahan saja. Atas apa yang aku alami. Atas apa yang membuatku gelisah.
Jujur karina. Semenjak kita terpisah. Aku kehilangan teman cerita seperti mu. Jadi terkadang aku bingung harus berdiskusi dengan siapa mengenai hal-hal yang aku agap penting. Maupun tidak aku agap penting sekalipun. Tapi ya sudahlah. Mau dikata apa. Kita punya hidup masing-masing kini. Dan aku hargai itu. Mungkin bila kita masih bersama kau juga akan muak dan jenuh mendengar apa yang selalu aku bicarakan. Bukan kah kau selalu bilang aku begitu egois untuk beberapa hal. Keras kepala dan tak mau kalah. Mungkin itu beberapa sikap buruk yang aku miliki. Aku akan berusaha untuk berubah. Tapi mungkin sikap seperti itu memang harus akau pakai untuk memandang beberapa masalah. Hidup tidak selamanya meminta kita utuk lunak karina.
Karina sayang. Mungkin harusnya aku menulis catatan ini sejak setahun yang lalu. Sejak aku baru benar-benar kehilangan teman bicara sepertimu. Tapi menurutku ini belum lah terlambat. Lagi pula. Saat itu jangankan menulis. Berfikir jernih saja sulit karena perasaan bersalah yang selalu membelenggu benak ku; mengapa aku bisa begitu saja meninggalkan mu. Atau sebaliknya. Kau begitu mudah meninggalkan ku. Entah yang mana yang benar. Entah mana yang ditinggalkan atau meningalakan. Tapi untuk ku pribadi keduanya berujung sesal. Entah bagimu.
Sepeninggalan mu Karin. Jujur saja aku jadi takut sendiri. Aku tak tahu mengapa. Mungkin terlalu berlebihan jika aku beranggapan hidupku telah kehilangan kesimbangan. Tapi mungkin benar Karin. Kau membuatku kini menjadi orang yang tak lagi seimbang. Aku mudah cemas untuk permasalahan apapun. Lebih lagi bila aku sedang ingin sekali menghilang dari semua. Karin. Mungkin dulu aku terlalu sayang. Jadi aku tidak pernah berfikir bahwa kehilangan itu menjadi momok yang sangat perih. Saat itu, aku tidak berfikir bahawa kemungkinan untuk kita berpisah sangat besar. Mungkin begitulah manusia. Ketika mengecap manisnya madu. Ia jadi melupakan pahitnya empedu, dan lengah. Itu kita karina. Kita manusia.
Karina ku yang manis. Hari ini aku sangat gelisah. Jangan Tanya apa penyebabya. Akupun tidak tahu. Mungkin karena banyaknya yang aku sedang pikirkan. Atau karena tidak ada yang sedang aku pikirkan. Diluar orang yang kutemui selalu membicarkan banyak hal. Dan tentu saja dengan masalahnya yang berbeda-beda. Dan secara disengaja atau tidak disengaja aku mendengar masalah mereka dan lantas ikut memikirkannya. Padahal tidak diminta. Semakin kita dewasa bukankah semakin banyak pula jenis atau macam individu yang kita temui. Dengan masalahnya masing-masing. Yang membuat kita semakin kaya akan pengalaman dan pembelajaran tentang cara memandang hidup.
Karin aku gelap tentang dimana titik manusia dianggap sudah dewasa. Terkadang aku mendengar maslah besar milik orang dewasa namun dislesaikan dengan sangat kekanak-kanakan. Ataupu sebaliknya. Maslah kecil dikeseharian, manusia malah berlomba-lomba untuk menjadi insan yang paling benar dan paling tahu bagaiman cara menyelesaikannya. Manusia memang aneh. Sulit ditebak. Seperti kau karina.
Aku belajar untuk disebut orang yang sudah dewasa. Tapi aku yakin karina. Di sisi diri setiap manusia ada yang tidak bias dihilangkan.yaitu sikap kekanak-kanakan. Banyak yang beranggapan; manusia bisa dianggap dewasa ketika mereka dapat menyelesaikan maslah kehidupan dengan cara sebijak-bijaknya. Aku tak seanggapan dengan itu. Menurutku dewasa tidak hanya sekedar itu.
Hidup adalah pertentangan karina. Hitam-putih. Benar-salah. Pria-Wanita. Miskin-kaya. Bahagai-pedih. Langit-bumi. Dan puncaknya seperti beberapa agama bicara yaitu Neraka-syurga. Sebagai manusia bukankah di setiap detik pada keseharian kita selalu dihadapkan dengan pilihan dari pertentangan. Mulai dari yang ringan hingga yang menyulitkan. Dan pilihan dalam hidup terkadang selalu menyangkut beberapa pihak. Hingga harus ada yang merasa diuntungkan atau dirugikan. Dan aku sangat percaya. Hal-hal seperti inilah yang menjadi suplemen untuk orang bisa disebut dewasa. Proses itu sebutannya.
Karina. Aku rasa kau dan aku belum dewasa. Atau sangat jauh dari kedewasaan. Mengapa begitu karina. Kita sering lari dari hal yang tidak ingin kita hadapi. Kita harus belajar lagi. Belajar bagaimana bisa berdamai dengan diri sendiri. Mungkin itu dasar dari sikap bijaksana. Tapi jangan salah paham karina. Berdamai dengan diri sendiri bukan berarti lunak dan mengalah.
Karina jangan marah dengan tulisan ini. pleas. Aku tak butuh kau membacanya apalagi menkomentarinya. Ini hanya kebingunganku semata. Sungguh. Kebingungan karena harus bagaimana menghabiskan malam saat insomnia, kebingungan karena kemana harus bercerita. Aku merasa tulisanku ini tak ada isi. Karena aku hanya ingin meluapkan apa yang aku gumamkan. Aku berani bersaksi dengan batinku sendiri bahwa perpisahhan kita yang membuat diriku dipaksa untuk selalu gelisah dan ingin menghilang dari keseharian. Tapi aku akan turut bahagia atas itu. Karena saat aku menghilang dari keseharian aku dapat menuliskan keseharian lain dengan cara yang lain. Untukmu. Karina. Sungguh.

Jatinangor,6 Agustus ’10. 02.00 WIB
Atas nama kegelisahan.

Selasa, 03 Agustus 2010

Warisan.


Warisan.

Oleh : Adam Hairul Azhar

Sebuah lampu bohlam tua menggantung tempat di atas sebuah meja. Membiaskan warna kekuningan yang samar. Tidak menghapus semua kegelapan yang ada di ruangan lima kali enam tersebut.. Namun juga tidak menyilaukan mata. Cahaya kekuningan itu teramat tenang. Sebanding dengan cahaya matahari senja saat sebelum turun hujan. Sehingga aura hangat dari cahaya bohlam tua menyelimuti setiap sudut ruangan.
Kemuningnya cahaya berganda memantul ke dua cangkir keramik yang ada di atas meja. Cahaya itu membias dan menyerap ketika berbenturan dengan permukaan tanah liat sebuah celengan ayam. Celengan ayam yang tegak berdiri di bagian tengah meja diapit dua cangkir keramik. Bagai seorang raja yang mematung di kawal kedua ajudannya.
Cahaya tidak hanya datang dari sebuah bohlam tua yang mengantung. Kilatan warna termuntah dari sebuah TV berukuran 14” yang berada disudut ruangan TV itu teramat fokus tak bergeming memperhatikan gerak-gerik dua orang lelaki: kaka beradik yang berada tepat di depannya. Di kedua sisi meja yang berbeda. Di batasi celengan ayam tanah liat.

“Babak kedua bung. 45 menit lagi sejarah akan tercipta.” Salah satu lelaki bergumam dengan mata yang tak melirik kearah manapun kecuali lurus ke arah TV.
“Hahaha.” Tawa lelaki di seberang meja yang tak lain adalah adik kandungnya sambil menggaruk kepala. “Aku pasti menang bang. Lionel Messi tak akan membiarkan celengan ayam bapak ini jatuh ketangan mu.”
“Tahu apa kau anak muda. Pengalamnku lebih banyak mengenai piala dunia. Saat kau masih berenang di rahim ibu. Aku sudah menyimak lelaki hitam berbaju kuning bernama Pele menimang bola berlari zig-zag melewati lawan-lawannya.”
“Abang. Abang. Taruhan tak kenal yang namanya pengalaman. Yang ada hanya keberuntungan.” Sanggah sang adik sambil menyalakan bara rokok di jemari tangannya.
Percakapan berhenti. Sepertinya si lelaki tua enggan menimpali pendapat adiknya yang ia rasa ada benarnya. Angin di luar bertiup cukup besar. Lampu bohlam tua yang kemuning terkadang berayun. Angin itu menyelip masuk kedalam ruangan melalui celah bilik dinding rumah. Begitu juga dengan suara Jangkrik. Katak. Dan burung hantu dari sawah samping rumah menyelinap melalui lubang bilik yang sama.
“Bang. Andai sebelum Bapak meninggal kau sempat memberikannya selembar kertas dan pulpen untuk surat wasiat. Mungkin kita tak perlu tegang dan berkeringat begini malam ini.” Sambung si lelaki melanjutkan percakapan yang terputus lagi.
“Surat wasiat untuk apa? Untuk celengan ayam ini?” Si lelaki bertanya dengan senyum, namun perhatianya terhadap TV tak terbagi sedikitpun. “Apa yang bapak kita bisa tulis lagi mengenai wasiat? Rumah bilik ini saja kontrak.”
“Tak mengapa bang. Bila surat wasiat itu ada dan jelas menerangkan harus bagaimana celengan ayam ini, maka aku bisa dengan santai menonton Messi menari di lapangan tanpa harus melirik dia. Lehernya menoleh, matanya tertuju pada celengan ayam yang berada tepat di samping kananya. “Walau sudah bisa kupastikan Brazil mu akan keok oleh Argentina malam ini.” Tegas adiknya itu sambil mengelus-elus kepala ayam di atas meja.
Sekejap lelaki itu terdiam lalu dia mengambil sepuntung rokok, menyulutnya dengan api dari korek kayu. Kepulan asap rokoknya membumbung menabrak lampu bohlam. Cahaya keemuningnya jadi sedikit kusam.
“Bung.” Lelaki itu memanggil adiknya. “Kita hanya anak seorang petani. Jangankan menulis surat wasiat. Membaca tulisan di belakang bungkus pupuk pun dia tak bisa. Lagipula mungkin bapak berpikir apa yang bisa dia wariskan. Tinggal ini bung. Celengan.” Tegasnya memukul pantat ayam itu dengan tangan kirinya sambil tersenyum. “Sebagai anak tertua. Empat puluh hari setelah kepergian bapak. Akulah yang paling di pusingkan dengan celengan ayam ini. Maka dari itu aku melarang kita balik ke kota sebelum warisan yang satu ini jelas. Aku yakin isinya tak akan seberapa. Itu juga kalau masih ada sisa dari kutu yang mengerogoti uang di dalamnya. Bisa saja kita pecahkan berdua. Lalu isinya kita bagi rata. Namun aku merasa gagahnya ayam ini dengan jengger dan bulunya yang merah jauh lebih berharga dari isi yang ada di perutnya. Maka dari itu aku membuat kesepakatan dengan mu, Bung. Biarkan Lionel Messi, Kaka dan teman-temannya saja yang menentukan si jago ini akan diurus oleh kau atau aku. Setengah jam lagi bung. Ketegangan ini akan hilang. Sabarlah.” Setelah bercerita cukup panjang lelaki itu kembali berusaha mengembalikan fokusnya pada TV.
“Kasihan sekali kau ayam. Sudah perutmu berkutu. Sekarang nasibmu saja belum jelas. Berdoalah untuk Lionel Messi kawan. Kau akan kutaruh di kandang yang layak nanti.” Sang adik berguman dan berseru kepada celengan ayam.
Dua lelaki, seekor celengan ayam, dua buah cangkir keramik tak bergeming. Menikmati hangatnya udara dan sayunya cahaya dari lampu bohlam tua yang kemuning. Suara yang keluar dari TV beradu dengan suara Jangkrik, Katak, Burung Hantu yang menyelinap masuk dari lubang bilik.
“Lima belas menit lagi bung, sejarah akan tercipta. Sepertinya adu pinalti.” Tiba-tiba lelaki itu berguman lagi. Mengingatkan adiknya ketegangan akan berakhir dan nasib sebuah celengan akan ditentukan .
“Tidak bang, tidak akan adu pinalti. Kecuali Lionel Messi keluar lapangan karena cidera atau kartu merah. Dia menjanjikan gol semalam dalam mimpiku.”
“Bung, Bung, kau dan Messi tak ada bedanya. Anak muda terlalu percaya mimpi.”
……………………………………………….Duuppp………………………………………
“Sialan !” kedua lelaki itu menyentak.
“PLN tak tahu di untung.”

******
Sebuah lambu bohlam tua menggantung tempat di atas sebuah meja. Membiaskan warna kekuningan yang samar. Tidak menghapus semua kegelapan yang ada di ruangan lima kali enam tersebut.. Namun juga tida menyilaukan mata. Cahaya kekuningan itu teramat tenang. Sebandinng dengan cahaya matahari senja saat sebelum turunnya hujan. Sehingga aura hangat dari bohlam tua menyelimuti setiap sudut ruangan.
Lampu bohlam tua yang kemuning terkadang berayun. Angin itu menyelip masuk kedalam ruangan melalui celah bilik dinding rumah. Begitu juga dengan suara Jangkrik, Katak, dan Burung Hantu dari sawah samping rumah menyelinap melalui lubang bilik yang sama. Patung ayam tanah liat itu masih berdiri gagah ditengah meja.
Jatinagor 13 juni ’10. 02:00 WIB
Untuk Lionel Messi.

Lisa.

Lisa
Oleh : Adam Hairul Azhar
Gadis kecil itu membentur-benturkan kepala bagian belakangnya ke muka dinding. Ia menutup kedua daun telinga dengan telapak tangannya. Kakinya ia lipat. Paha bagian atasnya rapat menyentuh payudaranya yang belum tumbuh. Matanya ia paksa agar terpejam. Badannya meringkuk melenting di bawah siku dinding dan lantai yang dingin. Kadang-kadang ia menggoyakan badanya kekiri dan kekanan. Layaknya tong bulat berisi minyak.
Namanya Lisa. Gadis kecil itu membentur-benturkan kepala bagian belakangnya ke muka dinding. Ia tak kuasa ntuk menangis. Ia takut rintih dan sedunya terdengar ke kamar sebelah. Kamar kedua orang tuanya. Lisa tak pernah tahu mengapa akhir-akhir ini hampir setiap tengah malam saat ayahnya berada dirumah ia selalu begini. Perasaan cemas, hawatir, gelisah akan ibunya selalu menerpa benaknya.
Sebelum gadis kecil itu membentur-benturkan kepala bagian belakangnya ke muka dinding. Awalnya ia terbaring nyaman diatas tempat tidur di dalam kamar. Meletakan kepalanya di bantal besar bergambar boneka kesukaannya yang empuk. Ia bersiap untuk tidur dengan memeluk boneka beruang kesayangannya. Namun Lisa pesimis malam ini akan tidur lelap dan nyenyak. Harapannya untuk bisa bermimpi menjadi Sinderela dengan kereta labuh dan sepatu kaca hampir sirna. Sepertinya malam ini tidak ada mimpi untuk Lisa.
Beberapa hari ini lelaki tua itu ada dirumah. Dan beberapa hari ini pula Gadis kecil itu membentur-benturkan kepala bagian belakangnya ke muka dinding. Orang bilang itu ayahnya Lisa. Awalnya Lisa percaya. Lelaki dengan kumis tebal yang bila pulang selalu membawa tas hitam besar, berseragam hijau belang, baret merah, sepatu lars hitam itu ayahnya. Dan Lisa memang harus percaya bahwa itu adalah ayahnya. Karena ibunya yang berkata.
Dulu Lisa sering bertanya tentang keberadaan ayahnya kepada ibu. Tetapi ibu selalu berkata “ Ayahmu orang baik. Dia sedang tugas. Menyelamatkan orang banyak.” Begitu pula jawaban Lisa kepada teman-teman lelakinya yang selalu mengejek dan mencemooh Lisa di sekolah.
“ Lisa ga punya Ayah. Lisa dari batu. Lisa anak haram” teriak beberapa anak laki-laki teman Lisa yang suka jahil memegang payudara Lisa yang belum tumbuh bergantian.
“ Ayahku orang baik. Dia sedang tugas. Menyelamatkan orang banyak.” Jawab Lisa sambil menahan tangis.
Maklumlah sedari Lisa lahir, ia hanya mengenal Mang Diman sebagai lelaki yang ia panggil bapak. Namun semenjak Lisa sekolah. Berseragam putih merah. Lisa tahu Mang Diman hanya supir keluarga, suami dari mbak Sumi, tukang cuci dirumahnya. Barulah Lisa ingin mencari tahu, siapa ayahnya. Ia bertanya pada Guru. Mbak Sumi, Mang Diman, dan Ibunya. Namun jawabannya selalu sama,“ Ayah Lisa orang baik. Sekarang sedang tugas. Menyelamatkan orang-orang.”
Sampai suatu pagi. Saat Lisa sedang sarapan di meja makan. Ia melihat di bibir pintu Ibunya sedang memeluk seorang lelaki tua begitu erat. Lalu Ibunya memanggil Lisa. “ Lisa ini ayah. Ini ayah.” Wanita itu mengendong Lisan dan menyodor-nyodorkan Lisa ke lelaki dengan kumis tebal yang berseragam hijau belang, berbaret merah, dan bersepatu lars hitam itu. Lisa bingung. Ia tak mengerti harus apa. Harus senang atau sedihkah ia. Yang pasti Lisa menghindar, menjauhkan dirinya dari lelaki itu saat ia disodorkan. Saat digendongan ibunya.
“Wajar ia begini., terlalu lama memang.” Lelaki itu berbisik kepada istrinya.
Tepat mulai malam itu Lisa tak pernah tidur nyenyak. Malam pertama sejak ayahnya tidur dirumah. Tidur di kamar ibunya. Berdua. Mulai malam itu juga gadis kecil itu membentur-benturkan kepala bagian belakangnya ke muka dinding. Lisa tak kuasa untuk tidur. Suara rintihan ibunya yang kesakitan masuk, menyeruak kekamar Lisa. Desahan-desahan ibunya yang terdengar sangat tersiksa yang membuat Lisa tidak tenang dan tidak mampu untuk tidur. Lisa bangkit dari kasurnya. Turun dari tempat tidur. Menyisihkan selimut. Sambil memeluk boneka beruangnya Lisa berjalan perlahan. Ia mendekati pintu kamar ibunya. Pintu kayu coklat yang menghubungkan kamarnya dan kamar ibunya. Lisa amat penasaran. Apa yang terjadi pada ibunya. Lisa mengintip dari lubang pintu. Ibunya sedang disiksa oleh lelaki itu. Pantas ibu merintih dan menjerit. Dari celah lubang kunci Lisa melihat payudara ibunya sedang diremas lalu digigit oleh lelaki tua itu. Ibunya tak bisa apa-apa hanya mendesis. Tubuhnya ditindih. Ibunya hanya bisa merintih dan menjerit. Lisa tak tahu harus berbuat apa. Ia ingin sekali menolong ibunya. Lisa semakin yakin. Lelaki itu bukan ayahnya yang baik. Yang suka menyelamatkan orang-orang. Ia lelaki tua jahat. Iblis. Penyiksa orang lain. Lisa tak bisa berbuat apa-apa. Bila memaksakan masuk pasti ia akan mudah dibunuh oleh lelaki itu. Lisa takut dicekik. Lisa putus asa. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Seketika badannya lemas dan perlahan ambruk kelantai. Ia menutup kedua daun telinga dengan telapak tangannya. Kakinya ia lipat. Paha bagian atasnya rapat menyentuh payudaranya yang belum tumbuh. Matanya ia paksa agar terpejam. Badannya meringkuk melenting di bawah siku dinding dan lantai yang dingin. Kadang-kadang ia menggoyakan badanya kekiri dan kekanan. Layaknya tong bulat berisi minyak.
****
Sebuah kecupan mendarat dikening Lisa. Saat ia sedang memeluk boneka beruangnya. Saat tubuhnya terbungkus selimut di atas tempat tidurnya.
“Ayo bangun Lisa, sekolah…” Kata ibunya sambil membuka gorden jendela. Dan seketika kamarnya menjadi terang dan begitu silau.
Ditengah Lisa sedang mengumpulkan kesadarannya. Lisa memaksa matanya untuk terbuka. Ia bersyukur ibunya masih hidup. Bisa membangunkannya seperti biasa. Lisa menatap ibunya. Memperhatikan beberapa bagian tubuh ibunya. Tangan. Wajah. Leher. Payudara. Lisa mencari bekas luka yang dibuat lelaki itu semalam. Lisa yakin semalam itu bukan mimpi. Rintihan, jeritan, desahan ibunya yang kesakitan itu benar-benar jelas ia dengar. Lisa yakin ia tidak bermimpi.
“Dasar pemalas, malah melamun. Cepat mandi. Kita sarapan sama-sama.”
Lisa turun dari tempat tidurnya. Bergegas untuk mandi. Tetapi pikiran Lisa tetap kosong. Tatapannya kosong. Lisa masih membayangkan kejadian malam tadi. Apakah benar itu hanya mimpi buruk. Hingga selesai mandi. Lisa berjalan ke depan cermin dalam kamarnya dengan handuk yang menutupi tubuhnya. Tepat di depan cermin Lisa membuka handuk itu. Lisa memperhatikan tubuhnya yang telanjang di depan cermin. Ia memegang payudaranya. Payudara yang seringkali ingin disentuh oleh teman-teman lelaki disekolah. Lisa menatap payudaranya. Ia berfikir. Ia yakin semalam itu benar ibunya. Benar payudara ibunya yang besar yang di gigit dengan lahap oleh lelaki tua jahat itu. Lisa mencubit putingnya sendiri. Dan ia berdesis. “ Aww.” Lisa merasakan sakit. Dicubit saja sakit begini. Apalagi digigit seperti punya ibu. Pikir Lisa.
Lisa melangkah turun menelusuri tangga. Dari kejauhan ia melihat lelaki tua jahat itu sudah berada di meja makan bersama ibunya. Lelaki itu melontarkan senyum kepada Lisa. Senyum palsu yang begitu sinis menurut Lisa. Mereka bertiga sarapan bersama dimeja makan yang cukup besar. Lisa hanya diam saja. Ia selalu menatap lelaki itu dengan benci. Ia selalu menatap ibunya dengan bingung.
Sesampainya disekolah Lisa masuk kedalam kelas. Dan mematung di kursinya. Ia tidak berkomunikasi pada siapapun. Lisa masih sangat bingung dan tidak mengerti tentang kejadian apa yang semalam ia lihat dan ia dengar. Lisa menjadi sangat pendiam. Lisa menjadi kesepian ditengah ramai jerit, tawa, tangis, dan canda teman-temannya.
Jam istirahat berbunyi. Karena haus Lisa berjalan Ke kantin untuk membeli minuman. Ditengah perjalanan lisa bertemu teman laki-laki yang sering mengejeknya. Mereka masih sama. Kata kata itu masih sama.
“Lisa ga punya Ayah. Lisa dari batu. Lisa anak haram.”
Lisa tidak menjawab. Lisa merunduk. Ia hanya diam saja. Mencoba berjalan terus. Melewati barikade teman-teman lelakinya. Lisa terus menerobos sekuat tenaga. Namun mereka tetap mengadangnya. Tubuh Lisa berdempetan dengan tubuh mereka. Payudara Lisa dicubit, ditekan, diremas. Lisa hanya diam saja. Lisa menahan sakit dengan mengigit bibir bawahnya. Dan melindungi payudaranya yang belum tumbuh sebisanya dengan kedua tangan. Lisa sedang malas melawan. Pikirannya dipenuhi dengan kejadian aneh semalam.
****
Sudah seminggu. Sudah tujuh kali tengah malam gadis kecil itu membentur-benturkan kepala bagian belakangnya ke muka dinding. Kejadian itu selalu berulang. Lisa muak. Apa yang terjadi sebenarnya. Pasti ada yang di tutupi oleh ibunya. Tentang siksaan yang setiap malam ia rasakan. Lisa lelah. Lisa semakin bingung harus berbuat apa. Apa yang harus ia lakukan untuk menolong ibunya. Agar ibunya tidak merintih kesakitan. Agar lelaki tua jahat itu tidak menyiksa ibunya lagi.
Sore itu Lisa dari dapur. Ia berlari tergesa-gesa menuju kamarnya. Masuk. Lalu mengunci pintu kamar. Lisa bergegas naik ketempat tidur. Menyelimuti tubuhnya. Tubuh boneka beruangnya. Lisa terpejam. Lisa tidak tertidur.
Rintihan itu datang lagi membanjiri kamarnya. Rintihan ibunya yang kesakitan. Lisa terjaga dengan kedua tangannya ditaruh di belakang pinggang. Lisa berdiri di depan celah lubang kunci pintu kayu coklat yang menghubungkan kamarnya dan kamar ibunya. Lisa melihat semuanya. Payudara diremas. Digigit. Ibunya ditindih. Lisa menahan dirinya. Menahan emosi yang membelenggunya.
Lisa masih berdiri disitu dengan kedua tangan yang masih dibelakang pinggang. Kini kamar ibunya gelap. ibunya rebah. Pingsan tak berdaya di samping lelaki tua jahat yang tak berpakaian itu.
Suara pintu terbuka. Ruang itu gelap. Hanya ada cahaya lampu tidur kemerah-merahan. Seorang gadis kecil berjalan berlahan. Kedua tangannya disembunyikan dibelakang pinggang. Sangat sepi. Sangat senyap. Keringat yang jatuh dari dahi gadis kecil itupun terdengar menghantam lantai. Ia semakin dekat dengan ranjang. Ia semakin dekat dengan tubuh lelaki tua yang tak berpakaian. Tepat disampingnya. Tangan gadis kecil itu bergerak keatas berlahan. Pisau. Cahaya bertambah. Cahaya lampu tidur yang kemerahan itu memantul, membias kesebilah pisau. Pisau di tangan gadis itu. Pisau di atas kepala gadis itu Dan “ Awwwwwww…”
Ia berlari kekamarnya. Mengunci pintu coklat yang menghubungkan kamarnya dan kamar ibunya. Gadis kecil itu membentur-benturkan kepala bagian belakangnya ke muka dinding. Ia menutup kedua daun telinga dengan telapak tangannya. Kakinya ia lipat. Paha bagian atasnya rapat menyentuh payudaranya yang belum tumbuh. Matanya ia paksa agar terpejam. Badannya meringkuk melenting di bawah siku dinding dan lantai yang dingin. Kadang-kadang ia menggoyakan badannya kekiri dan kekanan. Layaknya tong bulat berisi minyak. Tangannya berdarah. Telinganya berdarah.
Jatinangor 24 juli 2010. 00.03

Penga-Dua-N

Penga-Dua-N
Oleh : Adam Hairul Azhar

Siang itu perempuan dengan jeans hitam dan jaket merah kucal masuk kedalam kantor polisi. Dapat dilihat dengan jelas pada kulit wajahnya yang putih terdapat beberapa luka lebam. Pelipis matanya membiru. Begitu juga sisi kanan ujung bibirnya yang tipis. Bercak darah mengering dilubang hidungnya. Rambutnya kusut tak tertata. Wanita itu terlihat pucat. Sangat pucat. Kantung matanya hitam. Sepertinya beberapa hari ia kurang tidur. Wanita itu cantik. Sungguh.
Ia bisa lebih cantik dari hari ini. Bila diwajahnya tak terdapat lebam biru dan bercak darah mengering. Perempuan itu melangkah tertatih mendekati meja utama kantor polisi. Langkah terasa amat berat. Sepatu hitam yang ia kenakan mendesiskan beberapa bunyi gesekan dengan lantai. Perempuan itu menyeret kaki kirinya. Beberapa kali ia mencoba berjalan normal. Beberapa kali pula ia harus meringis kesakitan. Mengerutkan dahinya. Menahan rasa sakit. Butiran keringat mengkristal di ujung dagunya. Menggantung dan akan segera jatuh. Menghempas kelantai. Wanita itu terus melangkah. Tak ada yang bisa menghalanginya untuk sebuah pengaduan.
Seisi ruangan itu senyap. Hanya suara gesekan hak dari sepatu hitam yang mengores lantai yang terdengar. Beberapa pasang mata yang ada diruangan itu menantap padanya. Waktu seakan berhenti. Perempuan itu merunduk malu. Menyembunyikan lebam pada wajahnya dengan rambut yang ia biarkan terurai ke depan, menghalangi mata. Beberapa kali wanita itu bergumam dalam langkahnya. Bibirnya yang tipis dengan lebam pada ujungnya bergerak. “Pengaduan. Pengaduan.” Suara itu samar terdengar.
Seorang lelaki dengan seragam polisi lengkap tanpa topi datang menghampirinya. Mengeser kursi kearah belakang.
“Silahkan duduk nona.”
Lelaki itu berjalan memutar kebelakang meja coklat. Duduk di kursinya. Jemari tangannya terkadang menekan beberapa tombol keyboard komputer yang ada disamping kanannya.
“Ada yang bisa saya bantu?” Tanya lelaki itu sambil menatap wajah perempuan yang ada di depannya.
Tak ada jawaban barang sekatapun dari bibir permpuan itu. Ia hanya terpaku duduk terdiam. Tatapan matanya kosong. Pada retinanya mengenang air bening.
“Maaf nona. Ada yang bisa saya bantu?” ulang polisi muda itu.
“Pengaduan. Ya pengaduan.” Perempuan itu bergumam lagi. Ia masih merunduk. Matanya kini tajam dan fokus menatap muka meja yang berwarna coklat.
“Pengaduan untuk apa nona.?” Lelaki berseragam itu mendekatkan keyboardnya. siap untuk mengetik apapun yang diceritakan perempuan pucat itu.
“ Saya ingin sudahi ini. Sungguh.”
Lelaki dengan kumis tipis itu terlihat bingung. Ia tidak mengerti masalah apalagi yang akan ia dengar hari ini. Pengaduan apalagi. Siapa perempuan cantik, lebam, dan pucat yang mematung tepat dihadapannya.
“Baik nona. Kita mulai pengaduan ini.” Seru polisi itu mulai membagi perhatian kepada komputernya.
“Siapa nama nona?”
“Laras.”
Begitulah perempuan itu memberi identitasnya. Kini dia tidak merunduk lagi. Matanya yang lebam melihat lelaki yang sedang mengintrogasinya. Polisi itu terhentak. Ia dipandang begitu dingin oleh wanita dihadapannya. Mereka beradu pandang. Polisi itu melihat dengan jelas luka demi luka yang membekas diwajah wanita itu. Beberapa detik mereka terdiam. Polisi itu kalah ia tak tahan tersiksa karena pandangan. Ia merunduk.
“Lengkap?”
“Laras. Lengkap.”
“Umur?”
“27.”
“Alamat?”
“Jalan Ahmad Yani nomor 13 Bandung. Neraka yang beralamat.” Ketusnya tanpa siapapun tahu maksud perempuan itu.
Suara ketikkan keyboard beruntun tanpa henti. Sesekali polisi itu memperlambat bicaranya. Karena jemarinya belum selesai mengetik apa yang diucapkan perempuan itu. Tidak jarang dia mencuri pandang. Melirik bagian-demi bagian wajah perempuan pucat itu. Hatinya miris. Siapa yang tega membuat wajah cantik menjadi lebam begini. Tidak hanya wajah. Polisi itu juga menelusuri leher jenjang wanita itu. Berusaha mencari luka yang belum terlihat. Benar saja. Terdapat bekas merah pada leher sebelah kanan wanita itu. Merah. Bukan biru, memar atau lebam.
“Baik nona Laras, anda kecopetan? Rampok? Atau…”
“Lebih dari itu. Saya kehilangan banyak. Sangat banyak.” Potong perempuan pucat itu.
“Lalu apa nona?”
“Saya kehilangan harga diri dan harapan.”
“Siapa yang mengambil, mencopet atau merampok itu?” polisi itu semakin bertambah bingung. Perempuan aneh. Pengaduan aneh.
Perempuan itu kembali merunduk. Kembali menatap meja. Kembali mematung. Wajah lebamnya tak terlihat. terhalang rambut yang kusut tak tertata. Yang berayun, menggantung tepat di depan mata dan hidungnya. Bebutiran kristal bening menetes ke muka meja coklat. Mengucur dari ujung dagunya. Itu bukan keringat. Keringat tak mungkin sebanyak itu. Perempuan itu tersedu. Beberapa kali ia sulit menghela nafas. Ia menangis. Ia menahan tangis.
“Lelaki tua itu yang melakukannya. Setan beruban yang tiga tahun lalu menikahi saya. Si bangsat sakit jiwa yang tiap hari menyiksa saya. Duda anak tiga yang tak tahu diri. Satu hari dia sangat baik, memanjakan saya. Perhiasan, pakaian mewah, makanan enak, peralatan serba canggih. Lain hari dia menjadi setan. Iblis. Algojo dari neraka. Memperkosa, memukul, menyayat, memaksa bersetubuh saat datang bulan hari pertama. Bila saya tidak mau. Jadinya akan jauh lebih biru, lebih lebam, lebih memar dari ini.” Perempuan itu bercerita dengan tangis dan emosi.
“Mengapa tidak minta cerai sedari dulu?”
“Cerai? Hahaha… itu hanya lelucon.” Tawa si perempuan. Membuat lelaki dihadapannya semakin tenggelam dalam kebingungan. Keduanya kini berkeringat.
“Andai ayah saya tidak berhutang. Andai pabrik kedelai kami dikampung tidak bangkrut. Saya tidak akan seperti ini. Saya tidak akan kehilangan apa-apa.” Perempuan itu berbicara kepada dirinya sendiri.
“Maksudnya?”
“Ya… saya hanya jaminan atas nama nasib. Atas nama kemiskinan. Atas hutang-hutang keluarga kepada setan beruban itu. Ya. Sayalah jaminannya.”
Polisi itu terdiam. Hanya tangannya saja yang bergerak tak berhenti. Mencatat semuanya. Keluh, kesah. Harusnya ia sudah tidak aneh dengan ini semua. Sering ia berpikir kriminalitas dan kemiskinan adalah unsur yang tidak dapat terpisahkan. Masalah jenis atau cara itu terjadi hanya hiasan untuk mengisi formulir pengasusan. Tragis memang.
“Nona. Bisa anda jelaskan kronologi mengenai lebam, memar dan semua ini.”
“Semalam ia pulang larut. Hampir tengah malam. Jalanya sempoyongan. Menabrak sana sini. Baunya sudah tidak karuan. Mengoceh tidak jelas. Merayu saya seperti orang saraf. Saya tahu maunya. Tapi saya tidak bisa. Saya muak melakukan itu dengan dipaksa dan tidak nyaman. Menolak. Sudah saya coba. Tapi inilah hasilnya. Pukulan pada pelipis. Tamparan pada tulang pipi dan hidung. Saya jatuh. Terhempas kelantai. Tendangan. Makian. Lecehan. Saya hanya bisa menagis. Merintih. Saya kira malam itu sudah selesai. Lelaki tua itu meninggalkan saya keluar kamar setelah melempar ludahnya di kening saya. Ternyata belum dia kembali dengan guci cina. Lalu kaki saya. Dia gila. Bangsat.”
“Cukup nona. Kita sudah selesai. Silahkan tanda tangan di lembar pengaduan ini.”
“Pengaduan. Ya pengaduan.” Gumamnya.
Perempuan itu mengangkat tangannya perlahan. Meraih bolpoin hitam. Perempuan itu tidak hanya memiliki wajah yang cantik tapi juga jemari tangan yang lentik. Kukunya terlihat terawat. Namun noda-noda merah yang mengering menghiasi dalam kukunya dan beberapa ujung jemarinya. Noda merah itu mirip, nyaris sama dengan noda yang ada di lubang hidungnya. Perempuan itu mendapatkan apa yang ia mau. Sebuah pengaduan.
Kring… kring… kring… telepon disamping komputer polisi muda dengan seragam lengkap tak bertopi itu berdering.
“Hallo. Ya disini Polres Bandung, ada yang bisa saya bantu.”
“Iya pak. Nama saya indra. Saya mau melaporkan. Ada mayat pak. Tetangga saya. Seorang lelaki tua ditikam di leher bagian belakang. Sepertinya ia dirampok. Rumahnya berantakan. Pecahan guci dimana-mana pak. Tolong bantuannya.”

Jatinangor. 20 juli 2010. 10.30 AM

Negat (-)F

Sebuah Cerita Pendek :

Negat (-)F
Oleh : Adam Hairul azhar.

Mereka membisu di dalam kamar yang remang, Tak ada kata-kata. Mereka terjaga dalam medan kesunyian. Detak jam dinding terdengar menjadi sangat keras dan tak beraturan. Cahaya dalam kamar itu terkadang bergoyang. Kemuningnya berganda. Memantul pada cermin meja rias tepat di depan ranjang. Siluet gorden putih menari di dataran dinding. Jendela sengaja dibiarkan terbuka. Angin malam menyeruak, mengintai apa saja yang ada di dalam kamar. Ranjang sorong keemasan itu tak lagi berdesis. hanya selimut coklat muda yang mereka kenakan terkadang bergerak ketika mereka menggeser tubuh menghilangkan pegal di badan. Tentu saja mereka lelah. Mematung beberapa jam tanpa kata-kata di tengan malam tidaklah mudah. Mereka terjebak kebingungan. Mereka berada di pucuk keputusasaan.
Masalah yang membelenggu benak mereka, membuat mereka terperangkap dalam suasana yang tidak menyenangkan seperti ini. Kini Marsha tidur membelakangi suaminya Faisal. Mereka beradu punggung. Keduanya menerawang ke segala benda yang ada dihadapan mereka. Seperti tak ada pilihan untuk melihat benda yang lainnya. Marsha menatap lampu tidur keramik dengan cup putihnya yang tegak diatas meja. Bebutiran air terkadang menetes dari matanya yang bulat. Mengalir, meliuk mengikuti bentuk tulang pipinya. Tak jauh berbeda dengan Faisal. pandangannya melalang jauh keluar jendela yang terbuka. Mengintip malam lewat celah gorden saat bergoyang.
            Inilah yang rutin terjadi beberapa bulan ini. Di dalam kamar ini. Di saat malam yang senyap seperti ini. Lima tahun yang lalu tidak begini. Setelah mereka dinyatakan resmi menikah oleh penghulu. Ruangan ini selalu ramai dengan rayuan setiap malamnya, suara kecupan dan berbagai desahan yang mereka hempaskan hingga memenuhi seisi ruangan. Tawa, jerit, dan canda selalu ada. Sangat berbalik dengan situasi seperti sekarang ini.
Faisal berpaling dari tatapannya. Tubuhnya bergeser, lurus terlentang. Kini matanya memandang langit-langit kamar, Menatap lampu utama yang bergantung tepat diatas tubuhnya. Seketika kesunyian itu pecah.
“Kita bisa adopsi jika kau mau. Hanya itu yang belum kita lakukan bukan?” Lelaki itu bergumam pelan namun terdengar sangat jelas. Ia tahu istrinya belumlah tidur.
            Cukup lama Faisal menunggu jawab atas pertanyaannya. Membuat detak jam kembali menguasai ruang.
“Itu sulit Sal. Apalagi bagiku. Tidaklah mudah menyayangi anak orang lain.” Jawab Marsha. Tanpa berpaling dari lampu tidur yang ditatapnya.
“Lantas harus bagaimana? Kita sudah berusaha dengan segala cara. Tapi memang belum waktunya.”
“Aku tahu Sal. Aku selalu coba untuk pasrah dan bersabar. Tapi apakah mereka mengerti?”
“Persetan kata orang lain. Mereka harus tahu. Tiga dokter memutuskan kita normal dan bisa.” Ketus Faisal kembali berbalik membelakangi istrinya.
Marsha hanya diam menanggapi itu. Bantal putih yang menyanggah kepalanya semakin basah. Marsha tak bisa berkata lagi. Ini bagian dari usahanya untuk pasrah dan sabar. Namun batinnya tak bisa dia bohongi. Dia selalu dibuat sesak karena masalah ini. Lebih lagi ketika ia harus menyambangi rumah mertuanya. Pertanyaan tentang seorang cucu selalu dilimpahkan kepadanya. Hanya kepadanya. Maklumlah mertuanya begitu. Lima tahun Marsha dan Faisal telah tidur sekamar namun belum membuahkan hasil. Terkadang Marsha ingin berteriak didepan mertuanya, Ibu Faisal. Mengapa wanita tua itu hanya menanyakan masalah yang pelik ini kepadanya. Mengapa tidak kepada anaknya, Faisal. Ini semua membuat Marsha menjadi paling merasa salah akan hal ini.
Sebelum pernikahan dilaksanakan. Marsha tidak pernah meramalkan bahwa masalah ini yang akan menerpa rumah tangganya. Disunting oleh lelaki muda yang terbilang sukses dan mapan. Seorang wartawan televisi suasta ternama, membuatnya selalu mengawang dengan khayalan hidupnya yang akan sejahtera dan serba kecukupan. Memang benar khayalan itu adanya. Pendapatan Faisal lebih dari cukup untuk membahagiakan istri dan orang tuanya. Sebanding dengan kesediaannya untuk banyak memberi waktu, tenaga dan pikirannya untuk pekerjaan. Faisal memang tak bisa diragukan lagi dalam dedikasinya di dunia kerja. Sebagai seorang wartawan yang memburu banyak berita dengan berbagai tantangan. Kehilangan hari libur, keluar kota tiba-tiba, bekerja tanpa jam, hingga meninggalkan keluarga dalam waktu lama adalah sebagian dari konsekuensi yang harus ia hadapi. Dan Faisal amat sadar akan hal itu. Semua ia lakukan dengan sangat professional. Bukankah bekerja juga bagian dari membahagiakan keluarga?
 Tetapi kini apalah arti kemewahan untuk Marsha. Jika hidupnya selalu dihantui oleh tuntutan-tuntutan yang menyulitkan ini. Tuntutan ini menjadi sebuah mata rantai yang tak terencanakan namun begitu sangat menyiksa. Perempuan tua menuntut istri, istri menuntut sang suami. Membagi segala kebingungan tentang ini tepatnya.
            Malam semakin matang. Angin telah bercampur embun menyelinap kedalam ruang. Mereka seperti sangat ingin pergi dari tempat itu. Situasi seperti itu. Air mata marsha telah habis bercucuran. Mereka ingin lepas dari terjaga secepatnya.
“Sal…”
“Iya…”
“ Mungkin kita harus ….”
“ Harus apa?”
“ Kamu sayang harus…”
“Harus cuti lagi? Iya? gila kau. Ini memang sangat rumit marsha. Aku rasa, aku cukup mengorbankan pekerjaan untuk sesuatu yang belum pasti kita dapatkan ini. Aku tahu kita sangat menginginkannya. Tapi karir yang hampir 10 tahun aku bangun ini seketika bisa hancur Marsha. Cuti, cuti, cuti untuk bisa punya anak. Tapi apa. Nihil Marsha.”
“ Tapi Sal…”
“ Tapi apa lagi sayang? Aku terlalu sibuk? Kurang istirahat? Psikologiku kurang baik? Spermaku jadi tidak berkualitas karena itu semua? Iya? Cukup Marsha. Cukup kita percaya saran-saran kosong dokter banci itu.”
            Marsha tak menjawab pertanyaan beruntun yang dilontarkan suaminya dengan sekali helaian nafas itu. Marsha bagai media masa yang dibredel. Bicaranya beberapa kali dipotong seenaknya. Hanya isak dan sedu yang terdengar. Punggung Marsha bergetar menahan tangis. Setengah wajahnya kini terbenam di bantal yang basah.
“Maaf sha. Sungguh aku bingung. Sama sepertimu. ” ujar Faisal mengelus lengan atas istrinya dari belakang.
“Aku telat seminggu. Sudah beberapa kali begini.”
“Hah.? Kau belum cek itu?”
“Aku malas. Takut sal. Beberapa kali begini. Beberapa kali ini membuatku senang seketika. Beberapa kali aku harus kecewa.”  
            Faisal membenarkan selimut yang dikenakan istrinya. Menengahkan bantal yang tadi dikenakannya. Wajah lelaki itu terlihat sangat lelah. Kantung matanya menghitam. Beberapa detik Faisal menunduk pasrah. Lalu setelah itu mengusap telapaknya ke wajah letih itu.  Faisal berbaring berlahan. memeluk Marsha dari belakang. Membenarkan beberapa helai rambut bagian belakang isrtinya. Marsha tak bergeming sedikitpun. Dia masih membatu. Tenggelam dalam lamunan. Cahaya lampu tidur yang remang kini semakin remang. Cahaya itu beralih ke bola mata Marsha yang masih berkaca-kaca. Bisik angin dan dentang jam makin terdengar. 
****
            Debu beterbangan sepanjang jalan sinar matahari di dalam ruang. Kicauan burung gereja di depan balkon kamar terdengar sayup. Lelaki itu terbangun. Matanya masih tertutup. Sulit terbuka karena silaunya matahari. Tangannya menjalar bagian kasur di sampingnya. Seperti sipengamen buta yang mencari koin di atas trotoar. Ia mencari istrinya. Marsha. Namun tak ada bagian tubuh apapun teraba olehnya. Hanya gundukan selimut yang ada. Tubuhnya bangkit, namun pandangannya masih berbayang. Semua benda yang dilihatnya menjadi berganda. Tepat di depan ranjang sorong keemasan yang ia tunggangi itu terletak meja rias dengan cermin yang selalu memantulkan cahaya apapun. Menggandakan benda apapun. Faisal melihat dirinya di cermin meja rias itu. Namun gambar tubuhnya terhalang gegaris merah yang tercoret di muka cermin. Pandanganya yang kabur dan berganda tadi coba di fokuskan. Beberapa kali dia mengucak matanya dengan jari. Gegaris merah di cermin itu ternyata adalah goresan lipstik istrinya. Yang biasanya dipoleskan di bibir tipis wanita itu. Faisal mencoba membacanya. Ia tegap tak bergeming duduk diatas ranjang. Agar bayangan dirinya di dalam cermin tak bergoyang. Matanya seketika terbelalak tak berkedip lagi saat membaca goresan lipstik merah di cermin. Aku lelah. negatiFaisal…
****
Air mengalir tanpa henti dari bibir shower besi yang tergantung di dinding kamar mandi. Seorang wanita berendam di dalam bak raksasa dengan air yang memerah. Pekat.

Jatinangor. 12 Juli 2010. 01:14 A.M