Selasa, 03 Agustus 2010

Lisa.

Lisa
Oleh : Adam Hairul Azhar
Gadis kecil itu membentur-benturkan kepala bagian belakangnya ke muka dinding. Ia menutup kedua daun telinga dengan telapak tangannya. Kakinya ia lipat. Paha bagian atasnya rapat menyentuh payudaranya yang belum tumbuh. Matanya ia paksa agar terpejam. Badannya meringkuk melenting di bawah siku dinding dan lantai yang dingin. Kadang-kadang ia menggoyakan badanya kekiri dan kekanan. Layaknya tong bulat berisi minyak.
Namanya Lisa. Gadis kecil itu membentur-benturkan kepala bagian belakangnya ke muka dinding. Ia tak kuasa ntuk menangis. Ia takut rintih dan sedunya terdengar ke kamar sebelah. Kamar kedua orang tuanya. Lisa tak pernah tahu mengapa akhir-akhir ini hampir setiap tengah malam saat ayahnya berada dirumah ia selalu begini. Perasaan cemas, hawatir, gelisah akan ibunya selalu menerpa benaknya.
Sebelum gadis kecil itu membentur-benturkan kepala bagian belakangnya ke muka dinding. Awalnya ia terbaring nyaman diatas tempat tidur di dalam kamar. Meletakan kepalanya di bantal besar bergambar boneka kesukaannya yang empuk. Ia bersiap untuk tidur dengan memeluk boneka beruang kesayangannya. Namun Lisa pesimis malam ini akan tidur lelap dan nyenyak. Harapannya untuk bisa bermimpi menjadi Sinderela dengan kereta labuh dan sepatu kaca hampir sirna. Sepertinya malam ini tidak ada mimpi untuk Lisa.
Beberapa hari ini lelaki tua itu ada dirumah. Dan beberapa hari ini pula Gadis kecil itu membentur-benturkan kepala bagian belakangnya ke muka dinding. Orang bilang itu ayahnya Lisa. Awalnya Lisa percaya. Lelaki dengan kumis tebal yang bila pulang selalu membawa tas hitam besar, berseragam hijau belang, baret merah, sepatu lars hitam itu ayahnya. Dan Lisa memang harus percaya bahwa itu adalah ayahnya. Karena ibunya yang berkata.
Dulu Lisa sering bertanya tentang keberadaan ayahnya kepada ibu. Tetapi ibu selalu berkata “ Ayahmu orang baik. Dia sedang tugas. Menyelamatkan orang banyak.” Begitu pula jawaban Lisa kepada teman-teman lelakinya yang selalu mengejek dan mencemooh Lisa di sekolah.
“ Lisa ga punya Ayah. Lisa dari batu. Lisa anak haram” teriak beberapa anak laki-laki teman Lisa yang suka jahil memegang payudara Lisa yang belum tumbuh bergantian.
“ Ayahku orang baik. Dia sedang tugas. Menyelamatkan orang banyak.” Jawab Lisa sambil menahan tangis.
Maklumlah sedari Lisa lahir, ia hanya mengenal Mang Diman sebagai lelaki yang ia panggil bapak. Namun semenjak Lisa sekolah. Berseragam putih merah. Lisa tahu Mang Diman hanya supir keluarga, suami dari mbak Sumi, tukang cuci dirumahnya. Barulah Lisa ingin mencari tahu, siapa ayahnya. Ia bertanya pada Guru. Mbak Sumi, Mang Diman, dan Ibunya. Namun jawabannya selalu sama,“ Ayah Lisa orang baik. Sekarang sedang tugas. Menyelamatkan orang-orang.”
Sampai suatu pagi. Saat Lisa sedang sarapan di meja makan. Ia melihat di bibir pintu Ibunya sedang memeluk seorang lelaki tua begitu erat. Lalu Ibunya memanggil Lisa. “ Lisa ini ayah. Ini ayah.” Wanita itu mengendong Lisan dan menyodor-nyodorkan Lisa ke lelaki dengan kumis tebal yang berseragam hijau belang, berbaret merah, dan bersepatu lars hitam itu. Lisa bingung. Ia tak mengerti harus apa. Harus senang atau sedihkah ia. Yang pasti Lisa menghindar, menjauhkan dirinya dari lelaki itu saat ia disodorkan. Saat digendongan ibunya.
“Wajar ia begini., terlalu lama memang.” Lelaki itu berbisik kepada istrinya.
Tepat mulai malam itu Lisa tak pernah tidur nyenyak. Malam pertama sejak ayahnya tidur dirumah. Tidur di kamar ibunya. Berdua. Mulai malam itu juga gadis kecil itu membentur-benturkan kepala bagian belakangnya ke muka dinding. Lisa tak kuasa untuk tidur. Suara rintihan ibunya yang kesakitan masuk, menyeruak kekamar Lisa. Desahan-desahan ibunya yang terdengar sangat tersiksa yang membuat Lisa tidak tenang dan tidak mampu untuk tidur. Lisa bangkit dari kasurnya. Turun dari tempat tidur. Menyisihkan selimut. Sambil memeluk boneka beruangnya Lisa berjalan perlahan. Ia mendekati pintu kamar ibunya. Pintu kayu coklat yang menghubungkan kamarnya dan kamar ibunya. Lisa amat penasaran. Apa yang terjadi pada ibunya. Lisa mengintip dari lubang pintu. Ibunya sedang disiksa oleh lelaki itu. Pantas ibu merintih dan menjerit. Dari celah lubang kunci Lisa melihat payudara ibunya sedang diremas lalu digigit oleh lelaki tua itu. Ibunya tak bisa apa-apa hanya mendesis. Tubuhnya ditindih. Ibunya hanya bisa merintih dan menjerit. Lisa tak tahu harus berbuat apa. Ia ingin sekali menolong ibunya. Lisa semakin yakin. Lelaki itu bukan ayahnya yang baik. Yang suka menyelamatkan orang-orang. Ia lelaki tua jahat. Iblis. Penyiksa orang lain. Lisa tak bisa berbuat apa-apa. Bila memaksakan masuk pasti ia akan mudah dibunuh oleh lelaki itu. Lisa takut dicekik. Lisa putus asa. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Seketika badannya lemas dan perlahan ambruk kelantai. Ia menutup kedua daun telinga dengan telapak tangannya. Kakinya ia lipat. Paha bagian atasnya rapat menyentuh payudaranya yang belum tumbuh. Matanya ia paksa agar terpejam. Badannya meringkuk melenting di bawah siku dinding dan lantai yang dingin. Kadang-kadang ia menggoyakan badanya kekiri dan kekanan. Layaknya tong bulat berisi minyak.
****
Sebuah kecupan mendarat dikening Lisa. Saat ia sedang memeluk boneka beruangnya. Saat tubuhnya terbungkus selimut di atas tempat tidurnya.
“Ayo bangun Lisa, sekolah…” Kata ibunya sambil membuka gorden jendela. Dan seketika kamarnya menjadi terang dan begitu silau.
Ditengah Lisa sedang mengumpulkan kesadarannya. Lisa memaksa matanya untuk terbuka. Ia bersyukur ibunya masih hidup. Bisa membangunkannya seperti biasa. Lisa menatap ibunya. Memperhatikan beberapa bagian tubuh ibunya. Tangan. Wajah. Leher. Payudara. Lisa mencari bekas luka yang dibuat lelaki itu semalam. Lisa yakin semalam itu bukan mimpi. Rintihan, jeritan, desahan ibunya yang kesakitan itu benar-benar jelas ia dengar. Lisa yakin ia tidak bermimpi.
“Dasar pemalas, malah melamun. Cepat mandi. Kita sarapan sama-sama.”
Lisa turun dari tempat tidurnya. Bergegas untuk mandi. Tetapi pikiran Lisa tetap kosong. Tatapannya kosong. Lisa masih membayangkan kejadian malam tadi. Apakah benar itu hanya mimpi buruk. Hingga selesai mandi. Lisa berjalan ke depan cermin dalam kamarnya dengan handuk yang menutupi tubuhnya. Tepat di depan cermin Lisa membuka handuk itu. Lisa memperhatikan tubuhnya yang telanjang di depan cermin. Ia memegang payudaranya. Payudara yang seringkali ingin disentuh oleh teman-teman lelaki disekolah. Lisa menatap payudaranya. Ia berfikir. Ia yakin semalam itu benar ibunya. Benar payudara ibunya yang besar yang di gigit dengan lahap oleh lelaki tua jahat itu. Lisa mencubit putingnya sendiri. Dan ia berdesis. “ Aww.” Lisa merasakan sakit. Dicubit saja sakit begini. Apalagi digigit seperti punya ibu. Pikir Lisa.
Lisa melangkah turun menelusuri tangga. Dari kejauhan ia melihat lelaki tua jahat itu sudah berada di meja makan bersama ibunya. Lelaki itu melontarkan senyum kepada Lisa. Senyum palsu yang begitu sinis menurut Lisa. Mereka bertiga sarapan bersama dimeja makan yang cukup besar. Lisa hanya diam saja. Ia selalu menatap lelaki itu dengan benci. Ia selalu menatap ibunya dengan bingung.
Sesampainya disekolah Lisa masuk kedalam kelas. Dan mematung di kursinya. Ia tidak berkomunikasi pada siapapun. Lisa masih sangat bingung dan tidak mengerti tentang kejadian apa yang semalam ia lihat dan ia dengar. Lisa menjadi sangat pendiam. Lisa menjadi kesepian ditengah ramai jerit, tawa, tangis, dan canda teman-temannya.
Jam istirahat berbunyi. Karena haus Lisa berjalan Ke kantin untuk membeli minuman. Ditengah perjalanan lisa bertemu teman laki-laki yang sering mengejeknya. Mereka masih sama. Kata kata itu masih sama.
“Lisa ga punya Ayah. Lisa dari batu. Lisa anak haram.”
Lisa tidak menjawab. Lisa merunduk. Ia hanya diam saja. Mencoba berjalan terus. Melewati barikade teman-teman lelakinya. Lisa terus menerobos sekuat tenaga. Namun mereka tetap mengadangnya. Tubuh Lisa berdempetan dengan tubuh mereka. Payudara Lisa dicubit, ditekan, diremas. Lisa hanya diam saja. Lisa menahan sakit dengan mengigit bibir bawahnya. Dan melindungi payudaranya yang belum tumbuh sebisanya dengan kedua tangan. Lisa sedang malas melawan. Pikirannya dipenuhi dengan kejadian aneh semalam.
****
Sudah seminggu. Sudah tujuh kali tengah malam gadis kecil itu membentur-benturkan kepala bagian belakangnya ke muka dinding. Kejadian itu selalu berulang. Lisa muak. Apa yang terjadi sebenarnya. Pasti ada yang di tutupi oleh ibunya. Tentang siksaan yang setiap malam ia rasakan. Lisa lelah. Lisa semakin bingung harus berbuat apa. Apa yang harus ia lakukan untuk menolong ibunya. Agar ibunya tidak merintih kesakitan. Agar lelaki tua jahat itu tidak menyiksa ibunya lagi.
Sore itu Lisa dari dapur. Ia berlari tergesa-gesa menuju kamarnya. Masuk. Lalu mengunci pintu kamar. Lisa bergegas naik ketempat tidur. Menyelimuti tubuhnya. Tubuh boneka beruangnya. Lisa terpejam. Lisa tidak tertidur.
Rintihan itu datang lagi membanjiri kamarnya. Rintihan ibunya yang kesakitan. Lisa terjaga dengan kedua tangannya ditaruh di belakang pinggang. Lisa berdiri di depan celah lubang kunci pintu kayu coklat yang menghubungkan kamarnya dan kamar ibunya. Lisa melihat semuanya. Payudara diremas. Digigit. Ibunya ditindih. Lisa menahan dirinya. Menahan emosi yang membelenggunya.
Lisa masih berdiri disitu dengan kedua tangan yang masih dibelakang pinggang. Kini kamar ibunya gelap. ibunya rebah. Pingsan tak berdaya di samping lelaki tua jahat yang tak berpakaian itu.
Suara pintu terbuka. Ruang itu gelap. Hanya ada cahaya lampu tidur kemerah-merahan. Seorang gadis kecil berjalan berlahan. Kedua tangannya disembunyikan dibelakang pinggang. Sangat sepi. Sangat senyap. Keringat yang jatuh dari dahi gadis kecil itupun terdengar menghantam lantai. Ia semakin dekat dengan ranjang. Ia semakin dekat dengan tubuh lelaki tua yang tak berpakaian. Tepat disampingnya. Tangan gadis kecil itu bergerak keatas berlahan. Pisau. Cahaya bertambah. Cahaya lampu tidur yang kemerahan itu memantul, membias kesebilah pisau. Pisau di tangan gadis itu. Pisau di atas kepala gadis itu Dan “ Awwwwwww…”
Ia berlari kekamarnya. Mengunci pintu coklat yang menghubungkan kamarnya dan kamar ibunya. Gadis kecil itu membentur-benturkan kepala bagian belakangnya ke muka dinding. Ia menutup kedua daun telinga dengan telapak tangannya. Kakinya ia lipat. Paha bagian atasnya rapat menyentuh payudaranya yang belum tumbuh. Matanya ia paksa agar terpejam. Badannya meringkuk melenting di bawah siku dinding dan lantai yang dingin. Kadang-kadang ia menggoyakan badannya kekiri dan kekanan. Layaknya tong bulat berisi minyak. Tangannya berdarah. Telinganya berdarah.
Jatinangor 24 juli 2010. 00.03

Tidak ada komentar:

Posting Komentar