Selasa, 03 Agustus 2010

Warisan.


Warisan.

Oleh : Adam Hairul Azhar

Sebuah lampu bohlam tua menggantung tempat di atas sebuah meja. Membiaskan warna kekuningan yang samar. Tidak menghapus semua kegelapan yang ada di ruangan lima kali enam tersebut.. Namun juga tidak menyilaukan mata. Cahaya kekuningan itu teramat tenang. Sebanding dengan cahaya matahari senja saat sebelum turun hujan. Sehingga aura hangat dari cahaya bohlam tua menyelimuti setiap sudut ruangan.
Kemuningnya cahaya berganda memantul ke dua cangkir keramik yang ada di atas meja. Cahaya itu membias dan menyerap ketika berbenturan dengan permukaan tanah liat sebuah celengan ayam. Celengan ayam yang tegak berdiri di bagian tengah meja diapit dua cangkir keramik. Bagai seorang raja yang mematung di kawal kedua ajudannya.
Cahaya tidak hanya datang dari sebuah bohlam tua yang mengantung. Kilatan warna termuntah dari sebuah TV berukuran 14” yang berada disudut ruangan TV itu teramat fokus tak bergeming memperhatikan gerak-gerik dua orang lelaki: kaka beradik yang berada tepat di depannya. Di kedua sisi meja yang berbeda. Di batasi celengan ayam tanah liat.

“Babak kedua bung. 45 menit lagi sejarah akan tercipta.” Salah satu lelaki bergumam dengan mata yang tak melirik kearah manapun kecuali lurus ke arah TV.
“Hahaha.” Tawa lelaki di seberang meja yang tak lain adalah adik kandungnya sambil menggaruk kepala. “Aku pasti menang bang. Lionel Messi tak akan membiarkan celengan ayam bapak ini jatuh ketangan mu.”
“Tahu apa kau anak muda. Pengalamnku lebih banyak mengenai piala dunia. Saat kau masih berenang di rahim ibu. Aku sudah menyimak lelaki hitam berbaju kuning bernama Pele menimang bola berlari zig-zag melewati lawan-lawannya.”
“Abang. Abang. Taruhan tak kenal yang namanya pengalaman. Yang ada hanya keberuntungan.” Sanggah sang adik sambil menyalakan bara rokok di jemari tangannya.
Percakapan berhenti. Sepertinya si lelaki tua enggan menimpali pendapat adiknya yang ia rasa ada benarnya. Angin di luar bertiup cukup besar. Lampu bohlam tua yang kemuning terkadang berayun. Angin itu menyelip masuk kedalam ruangan melalui celah bilik dinding rumah. Begitu juga dengan suara Jangkrik. Katak. Dan burung hantu dari sawah samping rumah menyelinap melalui lubang bilik yang sama.
“Bang. Andai sebelum Bapak meninggal kau sempat memberikannya selembar kertas dan pulpen untuk surat wasiat. Mungkin kita tak perlu tegang dan berkeringat begini malam ini.” Sambung si lelaki melanjutkan percakapan yang terputus lagi.
“Surat wasiat untuk apa? Untuk celengan ayam ini?” Si lelaki bertanya dengan senyum, namun perhatianya terhadap TV tak terbagi sedikitpun. “Apa yang bapak kita bisa tulis lagi mengenai wasiat? Rumah bilik ini saja kontrak.”
“Tak mengapa bang. Bila surat wasiat itu ada dan jelas menerangkan harus bagaimana celengan ayam ini, maka aku bisa dengan santai menonton Messi menari di lapangan tanpa harus melirik dia. Lehernya menoleh, matanya tertuju pada celengan ayam yang berada tepat di samping kananya. “Walau sudah bisa kupastikan Brazil mu akan keok oleh Argentina malam ini.” Tegas adiknya itu sambil mengelus-elus kepala ayam di atas meja.
Sekejap lelaki itu terdiam lalu dia mengambil sepuntung rokok, menyulutnya dengan api dari korek kayu. Kepulan asap rokoknya membumbung menabrak lampu bohlam. Cahaya keemuningnya jadi sedikit kusam.
“Bung.” Lelaki itu memanggil adiknya. “Kita hanya anak seorang petani. Jangankan menulis surat wasiat. Membaca tulisan di belakang bungkus pupuk pun dia tak bisa. Lagipula mungkin bapak berpikir apa yang bisa dia wariskan. Tinggal ini bung. Celengan.” Tegasnya memukul pantat ayam itu dengan tangan kirinya sambil tersenyum. “Sebagai anak tertua. Empat puluh hari setelah kepergian bapak. Akulah yang paling di pusingkan dengan celengan ayam ini. Maka dari itu aku melarang kita balik ke kota sebelum warisan yang satu ini jelas. Aku yakin isinya tak akan seberapa. Itu juga kalau masih ada sisa dari kutu yang mengerogoti uang di dalamnya. Bisa saja kita pecahkan berdua. Lalu isinya kita bagi rata. Namun aku merasa gagahnya ayam ini dengan jengger dan bulunya yang merah jauh lebih berharga dari isi yang ada di perutnya. Maka dari itu aku membuat kesepakatan dengan mu, Bung. Biarkan Lionel Messi, Kaka dan teman-temannya saja yang menentukan si jago ini akan diurus oleh kau atau aku. Setengah jam lagi bung. Ketegangan ini akan hilang. Sabarlah.” Setelah bercerita cukup panjang lelaki itu kembali berusaha mengembalikan fokusnya pada TV.
“Kasihan sekali kau ayam. Sudah perutmu berkutu. Sekarang nasibmu saja belum jelas. Berdoalah untuk Lionel Messi kawan. Kau akan kutaruh di kandang yang layak nanti.” Sang adik berguman dan berseru kepada celengan ayam.
Dua lelaki, seekor celengan ayam, dua buah cangkir keramik tak bergeming. Menikmati hangatnya udara dan sayunya cahaya dari lampu bohlam tua yang kemuning. Suara yang keluar dari TV beradu dengan suara Jangkrik, Katak, Burung Hantu yang menyelinap masuk dari lubang bilik.
“Lima belas menit lagi bung, sejarah akan tercipta. Sepertinya adu pinalti.” Tiba-tiba lelaki itu berguman lagi. Mengingatkan adiknya ketegangan akan berakhir dan nasib sebuah celengan akan ditentukan .
“Tidak bang, tidak akan adu pinalti. Kecuali Lionel Messi keluar lapangan karena cidera atau kartu merah. Dia menjanjikan gol semalam dalam mimpiku.”
“Bung, Bung, kau dan Messi tak ada bedanya. Anak muda terlalu percaya mimpi.”
……………………………………………….Duuppp………………………………………
“Sialan !” kedua lelaki itu menyentak.
“PLN tak tahu di untung.”

******
Sebuah lambu bohlam tua menggantung tempat di atas sebuah meja. Membiaskan warna kekuningan yang samar. Tidak menghapus semua kegelapan yang ada di ruangan lima kali enam tersebut.. Namun juga tida menyilaukan mata. Cahaya kekuningan itu teramat tenang. Sebandinng dengan cahaya matahari senja saat sebelum turunnya hujan. Sehingga aura hangat dari bohlam tua menyelimuti setiap sudut ruangan.
Lampu bohlam tua yang kemuning terkadang berayun. Angin itu menyelip masuk kedalam ruangan melalui celah bilik dinding rumah. Begitu juga dengan suara Jangkrik, Katak, dan Burung Hantu dari sawah samping rumah menyelinap melalui lubang bilik yang sama. Patung ayam tanah liat itu masih berdiri gagah ditengah meja.
Jatinagor 13 juni ’10. 02:00 WIB
Untuk Lionel Messi.

1 komentar:

  1. mana cerita kegalauan anda (juga saya)? di tunggu nih sama teman sepergalauan

    BalasHapus