Selasa, 03 Agustus 2010

Negat (-)F

Sebuah Cerita Pendek :

Negat (-)F
Oleh : Adam Hairul azhar.

Mereka membisu di dalam kamar yang remang, Tak ada kata-kata. Mereka terjaga dalam medan kesunyian. Detak jam dinding terdengar menjadi sangat keras dan tak beraturan. Cahaya dalam kamar itu terkadang bergoyang. Kemuningnya berganda. Memantul pada cermin meja rias tepat di depan ranjang. Siluet gorden putih menari di dataran dinding. Jendela sengaja dibiarkan terbuka. Angin malam menyeruak, mengintai apa saja yang ada di dalam kamar. Ranjang sorong keemasan itu tak lagi berdesis. hanya selimut coklat muda yang mereka kenakan terkadang bergerak ketika mereka menggeser tubuh menghilangkan pegal di badan. Tentu saja mereka lelah. Mematung beberapa jam tanpa kata-kata di tengan malam tidaklah mudah. Mereka terjebak kebingungan. Mereka berada di pucuk keputusasaan.
Masalah yang membelenggu benak mereka, membuat mereka terperangkap dalam suasana yang tidak menyenangkan seperti ini. Kini Marsha tidur membelakangi suaminya Faisal. Mereka beradu punggung. Keduanya menerawang ke segala benda yang ada dihadapan mereka. Seperti tak ada pilihan untuk melihat benda yang lainnya. Marsha menatap lampu tidur keramik dengan cup putihnya yang tegak diatas meja. Bebutiran air terkadang menetes dari matanya yang bulat. Mengalir, meliuk mengikuti bentuk tulang pipinya. Tak jauh berbeda dengan Faisal. pandangannya melalang jauh keluar jendela yang terbuka. Mengintip malam lewat celah gorden saat bergoyang.
            Inilah yang rutin terjadi beberapa bulan ini. Di dalam kamar ini. Di saat malam yang senyap seperti ini. Lima tahun yang lalu tidak begini. Setelah mereka dinyatakan resmi menikah oleh penghulu. Ruangan ini selalu ramai dengan rayuan setiap malamnya, suara kecupan dan berbagai desahan yang mereka hempaskan hingga memenuhi seisi ruangan. Tawa, jerit, dan canda selalu ada. Sangat berbalik dengan situasi seperti sekarang ini.
Faisal berpaling dari tatapannya. Tubuhnya bergeser, lurus terlentang. Kini matanya memandang langit-langit kamar, Menatap lampu utama yang bergantung tepat diatas tubuhnya. Seketika kesunyian itu pecah.
“Kita bisa adopsi jika kau mau. Hanya itu yang belum kita lakukan bukan?” Lelaki itu bergumam pelan namun terdengar sangat jelas. Ia tahu istrinya belumlah tidur.
            Cukup lama Faisal menunggu jawab atas pertanyaannya. Membuat detak jam kembali menguasai ruang.
“Itu sulit Sal. Apalagi bagiku. Tidaklah mudah menyayangi anak orang lain.” Jawab Marsha. Tanpa berpaling dari lampu tidur yang ditatapnya.
“Lantas harus bagaimana? Kita sudah berusaha dengan segala cara. Tapi memang belum waktunya.”
“Aku tahu Sal. Aku selalu coba untuk pasrah dan bersabar. Tapi apakah mereka mengerti?”
“Persetan kata orang lain. Mereka harus tahu. Tiga dokter memutuskan kita normal dan bisa.” Ketus Faisal kembali berbalik membelakangi istrinya.
Marsha hanya diam menanggapi itu. Bantal putih yang menyanggah kepalanya semakin basah. Marsha tak bisa berkata lagi. Ini bagian dari usahanya untuk pasrah dan sabar. Namun batinnya tak bisa dia bohongi. Dia selalu dibuat sesak karena masalah ini. Lebih lagi ketika ia harus menyambangi rumah mertuanya. Pertanyaan tentang seorang cucu selalu dilimpahkan kepadanya. Hanya kepadanya. Maklumlah mertuanya begitu. Lima tahun Marsha dan Faisal telah tidur sekamar namun belum membuahkan hasil. Terkadang Marsha ingin berteriak didepan mertuanya, Ibu Faisal. Mengapa wanita tua itu hanya menanyakan masalah yang pelik ini kepadanya. Mengapa tidak kepada anaknya, Faisal. Ini semua membuat Marsha menjadi paling merasa salah akan hal ini.
Sebelum pernikahan dilaksanakan. Marsha tidak pernah meramalkan bahwa masalah ini yang akan menerpa rumah tangganya. Disunting oleh lelaki muda yang terbilang sukses dan mapan. Seorang wartawan televisi suasta ternama, membuatnya selalu mengawang dengan khayalan hidupnya yang akan sejahtera dan serba kecukupan. Memang benar khayalan itu adanya. Pendapatan Faisal lebih dari cukup untuk membahagiakan istri dan orang tuanya. Sebanding dengan kesediaannya untuk banyak memberi waktu, tenaga dan pikirannya untuk pekerjaan. Faisal memang tak bisa diragukan lagi dalam dedikasinya di dunia kerja. Sebagai seorang wartawan yang memburu banyak berita dengan berbagai tantangan. Kehilangan hari libur, keluar kota tiba-tiba, bekerja tanpa jam, hingga meninggalkan keluarga dalam waktu lama adalah sebagian dari konsekuensi yang harus ia hadapi. Dan Faisal amat sadar akan hal itu. Semua ia lakukan dengan sangat professional. Bukankah bekerja juga bagian dari membahagiakan keluarga?
 Tetapi kini apalah arti kemewahan untuk Marsha. Jika hidupnya selalu dihantui oleh tuntutan-tuntutan yang menyulitkan ini. Tuntutan ini menjadi sebuah mata rantai yang tak terencanakan namun begitu sangat menyiksa. Perempuan tua menuntut istri, istri menuntut sang suami. Membagi segala kebingungan tentang ini tepatnya.
            Malam semakin matang. Angin telah bercampur embun menyelinap kedalam ruang. Mereka seperti sangat ingin pergi dari tempat itu. Situasi seperti itu. Air mata marsha telah habis bercucuran. Mereka ingin lepas dari terjaga secepatnya.
“Sal…”
“Iya…”
“ Mungkin kita harus ….”
“ Harus apa?”
“ Kamu sayang harus…”
“Harus cuti lagi? Iya? gila kau. Ini memang sangat rumit marsha. Aku rasa, aku cukup mengorbankan pekerjaan untuk sesuatu yang belum pasti kita dapatkan ini. Aku tahu kita sangat menginginkannya. Tapi karir yang hampir 10 tahun aku bangun ini seketika bisa hancur Marsha. Cuti, cuti, cuti untuk bisa punya anak. Tapi apa. Nihil Marsha.”
“ Tapi Sal…”
“ Tapi apa lagi sayang? Aku terlalu sibuk? Kurang istirahat? Psikologiku kurang baik? Spermaku jadi tidak berkualitas karena itu semua? Iya? Cukup Marsha. Cukup kita percaya saran-saran kosong dokter banci itu.”
            Marsha tak menjawab pertanyaan beruntun yang dilontarkan suaminya dengan sekali helaian nafas itu. Marsha bagai media masa yang dibredel. Bicaranya beberapa kali dipotong seenaknya. Hanya isak dan sedu yang terdengar. Punggung Marsha bergetar menahan tangis. Setengah wajahnya kini terbenam di bantal yang basah.
“Maaf sha. Sungguh aku bingung. Sama sepertimu. ” ujar Faisal mengelus lengan atas istrinya dari belakang.
“Aku telat seminggu. Sudah beberapa kali begini.”
“Hah.? Kau belum cek itu?”
“Aku malas. Takut sal. Beberapa kali begini. Beberapa kali ini membuatku senang seketika. Beberapa kali aku harus kecewa.”  
            Faisal membenarkan selimut yang dikenakan istrinya. Menengahkan bantal yang tadi dikenakannya. Wajah lelaki itu terlihat sangat lelah. Kantung matanya menghitam. Beberapa detik Faisal menunduk pasrah. Lalu setelah itu mengusap telapaknya ke wajah letih itu.  Faisal berbaring berlahan. memeluk Marsha dari belakang. Membenarkan beberapa helai rambut bagian belakang isrtinya. Marsha tak bergeming sedikitpun. Dia masih membatu. Tenggelam dalam lamunan. Cahaya lampu tidur yang remang kini semakin remang. Cahaya itu beralih ke bola mata Marsha yang masih berkaca-kaca. Bisik angin dan dentang jam makin terdengar. 
****
            Debu beterbangan sepanjang jalan sinar matahari di dalam ruang. Kicauan burung gereja di depan balkon kamar terdengar sayup. Lelaki itu terbangun. Matanya masih tertutup. Sulit terbuka karena silaunya matahari. Tangannya menjalar bagian kasur di sampingnya. Seperti sipengamen buta yang mencari koin di atas trotoar. Ia mencari istrinya. Marsha. Namun tak ada bagian tubuh apapun teraba olehnya. Hanya gundukan selimut yang ada. Tubuhnya bangkit, namun pandangannya masih berbayang. Semua benda yang dilihatnya menjadi berganda. Tepat di depan ranjang sorong keemasan yang ia tunggangi itu terletak meja rias dengan cermin yang selalu memantulkan cahaya apapun. Menggandakan benda apapun. Faisal melihat dirinya di cermin meja rias itu. Namun gambar tubuhnya terhalang gegaris merah yang tercoret di muka cermin. Pandanganya yang kabur dan berganda tadi coba di fokuskan. Beberapa kali dia mengucak matanya dengan jari. Gegaris merah di cermin itu ternyata adalah goresan lipstik istrinya. Yang biasanya dipoleskan di bibir tipis wanita itu. Faisal mencoba membacanya. Ia tegap tak bergeming duduk diatas ranjang. Agar bayangan dirinya di dalam cermin tak bergoyang. Matanya seketika terbelalak tak berkedip lagi saat membaca goresan lipstik merah di cermin. Aku lelah. negatiFaisal…
****
Air mengalir tanpa henti dari bibir shower besi yang tergantung di dinding kamar mandi. Seorang wanita berendam di dalam bak raksasa dengan air yang memerah. Pekat.

Jatinangor. 12 Juli 2010. 01:14 A.M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar