Selasa, 03 Agustus 2010

Penga-Dua-N

Penga-Dua-N
Oleh : Adam Hairul Azhar

Siang itu perempuan dengan jeans hitam dan jaket merah kucal masuk kedalam kantor polisi. Dapat dilihat dengan jelas pada kulit wajahnya yang putih terdapat beberapa luka lebam. Pelipis matanya membiru. Begitu juga sisi kanan ujung bibirnya yang tipis. Bercak darah mengering dilubang hidungnya. Rambutnya kusut tak tertata. Wanita itu terlihat pucat. Sangat pucat. Kantung matanya hitam. Sepertinya beberapa hari ia kurang tidur. Wanita itu cantik. Sungguh.
Ia bisa lebih cantik dari hari ini. Bila diwajahnya tak terdapat lebam biru dan bercak darah mengering. Perempuan itu melangkah tertatih mendekati meja utama kantor polisi. Langkah terasa amat berat. Sepatu hitam yang ia kenakan mendesiskan beberapa bunyi gesekan dengan lantai. Perempuan itu menyeret kaki kirinya. Beberapa kali ia mencoba berjalan normal. Beberapa kali pula ia harus meringis kesakitan. Mengerutkan dahinya. Menahan rasa sakit. Butiran keringat mengkristal di ujung dagunya. Menggantung dan akan segera jatuh. Menghempas kelantai. Wanita itu terus melangkah. Tak ada yang bisa menghalanginya untuk sebuah pengaduan.
Seisi ruangan itu senyap. Hanya suara gesekan hak dari sepatu hitam yang mengores lantai yang terdengar. Beberapa pasang mata yang ada diruangan itu menantap padanya. Waktu seakan berhenti. Perempuan itu merunduk malu. Menyembunyikan lebam pada wajahnya dengan rambut yang ia biarkan terurai ke depan, menghalangi mata. Beberapa kali wanita itu bergumam dalam langkahnya. Bibirnya yang tipis dengan lebam pada ujungnya bergerak. “Pengaduan. Pengaduan.” Suara itu samar terdengar.
Seorang lelaki dengan seragam polisi lengkap tanpa topi datang menghampirinya. Mengeser kursi kearah belakang.
“Silahkan duduk nona.”
Lelaki itu berjalan memutar kebelakang meja coklat. Duduk di kursinya. Jemari tangannya terkadang menekan beberapa tombol keyboard komputer yang ada disamping kanannya.
“Ada yang bisa saya bantu?” Tanya lelaki itu sambil menatap wajah perempuan yang ada di depannya.
Tak ada jawaban barang sekatapun dari bibir permpuan itu. Ia hanya terpaku duduk terdiam. Tatapan matanya kosong. Pada retinanya mengenang air bening.
“Maaf nona. Ada yang bisa saya bantu?” ulang polisi muda itu.
“Pengaduan. Ya pengaduan.” Perempuan itu bergumam lagi. Ia masih merunduk. Matanya kini tajam dan fokus menatap muka meja yang berwarna coklat.
“Pengaduan untuk apa nona.?” Lelaki berseragam itu mendekatkan keyboardnya. siap untuk mengetik apapun yang diceritakan perempuan pucat itu.
“ Saya ingin sudahi ini. Sungguh.”
Lelaki dengan kumis tipis itu terlihat bingung. Ia tidak mengerti masalah apalagi yang akan ia dengar hari ini. Pengaduan apalagi. Siapa perempuan cantik, lebam, dan pucat yang mematung tepat dihadapannya.
“Baik nona. Kita mulai pengaduan ini.” Seru polisi itu mulai membagi perhatian kepada komputernya.
“Siapa nama nona?”
“Laras.”
Begitulah perempuan itu memberi identitasnya. Kini dia tidak merunduk lagi. Matanya yang lebam melihat lelaki yang sedang mengintrogasinya. Polisi itu terhentak. Ia dipandang begitu dingin oleh wanita dihadapannya. Mereka beradu pandang. Polisi itu melihat dengan jelas luka demi luka yang membekas diwajah wanita itu. Beberapa detik mereka terdiam. Polisi itu kalah ia tak tahan tersiksa karena pandangan. Ia merunduk.
“Lengkap?”
“Laras. Lengkap.”
“Umur?”
“27.”
“Alamat?”
“Jalan Ahmad Yani nomor 13 Bandung. Neraka yang beralamat.” Ketusnya tanpa siapapun tahu maksud perempuan itu.
Suara ketikkan keyboard beruntun tanpa henti. Sesekali polisi itu memperlambat bicaranya. Karena jemarinya belum selesai mengetik apa yang diucapkan perempuan itu. Tidak jarang dia mencuri pandang. Melirik bagian-demi bagian wajah perempuan pucat itu. Hatinya miris. Siapa yang tega membuat wajah cantik menjadi lebam begini. Tidak hanya wajah. Polisi itu juga menelusuri leher jenjang wanita itu. Berusaha mencari luka yang belum terlihat. Benar saja. Terdapat bekas merah pada leher sebelah kanan wanita itu. Merah. Bukan biru, memar atau lebam.
“Baik nona Laras, anda kecopetan? Rampok? Atau…”
“Lebih dari itu. Saya kehilangan banyak. Sangat banyak.” Potong perempuan pucat itu.
“Lalu apa nona?”
“Saya kehilangan harga diri dan harapan.”
“Siapa yang mengambil, mencopet atau merampok itu?” polisi itu semakin bertambah bingung. Perempuan aneh. Pengaduan aneh.
Perempuan itu kembali merunduk. Kembali menatap meja. Kembali mematung. Wajah lebamnya tak terlihat. terhalang rambut yang kusut tak tertata. Yang berayun, menggantung tepat di depan mata dan hidungnya. Bebutiran kristal bening menetes ke muka meja coklat. Mengucur dari ujung dagunya. Itu bukan keringat. Keringat tak mungkin sebanyak itu. Perempuan itu tersedu. Beberapa kali ia sulit menghela nafas. Ia menangis. Ia menahan tangis.
“Lelaki tua itu yang melakukannya. Setan beruban yang tiga tahun lalu menikahi saya. Si bangsat sakit jiwa yang tiap hari menyiksa saya. Duda anak tiga yang tak tahu diri. Satu hari dia sangat baik, memanjakan saya. Perhiasan, pakaian mewah, makanan enak, peralatan serba canggih. Lain hari dia menjadi setan. Iblis. Algojo dari neraka. Memperkosa, memukul, menyayat, memaksa bersetubuh saat datang bulan hari pertama. Bila saya tidak mau. Jadinya akan jauh lebih biru, lebih lebam, lebih memar dari ini.” Perempuan itu bercerita dengan tangis dan emosi.
“Mengapa tidak minta cerai sedari dulu?”
“Cerai? Hahaha… itu hanya lelucon.” Tawa si perempuan. Membuat lelaki dihadapannya semakin tenggelam dalam kebingungan. Keduanya kini berkeringat.
“Andai ayah saya tidak berhutang. Andai pabrik kedelai kami dikampung tidak bangkrut. Saya tidak akan seperti ini. Saya tidak akan kehilangan apa-apa.” Perempuan itu berbicara kepada dirinya sendiri.
“Maksudnya?”
“Ya… saya hanya jaminan atas nama nasib. Atas nama kemiskinan. Atas hutang-hutang keluarga kepada setan beruban itu. Ya. Sayalah jaminannya.”
Polisi itu terdiam. Hanya tangannya saja yang bergerak tak berhenti. Mencatat semuanya. Keluh, kesah. Harusnya ia sudah tidak aneh dengan ini semua. Sering ia berpikir kriminalitas dan kemiskinan adalah unsur yang tidak dapat terpisahkan. Masalah jenis atau cara itu terjadi hanya hiasan untuk mengisi formulir pengasusan. Tragis memang.
“Nona. Bisa anda jelaskan kronologi mengenai lebam, memar dan semua ini.”
“Semalam ia pulang larut. Hampir tengah malam. Jalanya sempoyongan. Menabrak sana sini. Baunya sudah tidak karuan. Mengoceh tidak jelas. Merayu saya seperti orang saraf. Saya tahu maunya. Tapi saya tidak bisa. Saya muak melakukan itu dengan dipaksa dan tidak nyaman. Menolak. Sudah saya coba. Tapi inilah hasilnya. Pukulan pada pelipis. Tamparan pada tulang pipi dan hidung. Saya jatuh. Terhempas kelantai. Tendangan. Makian. Lecehan. Saya hanya bisa menagis. Merintih. Saya kira malam itu sudah selesai. Lelaki tua itu meninggalkan saya keluar kamar setelah melempar ludahnya di kening saya. Ternyata belum dia kembali dengan guci cina. Lalu kaki saya. Dia gila. Bangsat.”
“Cukup nona. Kita sudah selesai. Silahkan tanda tangan di lembar pengaduan ini.”
“Pengaduan. Ya pengaduan.” Gumamnya.
Perempuan itu mengangkat tangannya perlahan. Meraih bolpoin hitam. Perempuan itu tidak hanya memiliki wajah yang cantik tapi juga jemari tangan yang lentik. Kukunya terlihat terawat. Namun noda-noda merah yang mengering menghiasi dalam kukunya dan beberapa ujung jemarinya. Noda merah itu mirip, nyaris sama dengan noda yang ada di lubang hidungnya. Perempuan itu mendapatkan apa yang ia mau. Sebuah pengaduan.
Kring… kring… kring… telepon disamping komputer polisi muda dengan seragam lengkap tak bertopi itu berdering.
“Hallo. Ya disini Polres Bandung, ada yang bisa saya bantu.”
“Iya pak. Nama saya indra. Saya mau melaporkan. Ada mayat pak. Tetangga saya. Seorang lelaki tua ditikam di leher bagian belakang. Sepertinya ia dirampok. Rumahnya berantakan. Pecahan guci dimana-mana pak. Tolong bantuannya.”

Jatinangor. 20 juli 2010. 10.30 AM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar